BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB
Umar bin Khtttab adalah salah seorang sahabat nabi dan khalifah kedua setelah wafatnya Abu Bakar As-Sidiq. Jasa dan pengaruhnya terhadap penyebaran Islam sangat besar hingga Michael H. Heart menempatkannya sebagai orang paling berpengaruh nomor 51 sedunia sepanjang masa.
Beliau lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy dengan nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.
Umar tumbuh menjadi pemuda yang disegani dan ditakuti pada masa itu. Wataknya yang keras membuatnya mendapat julukan “Singa Padang Pasir”. Ia juga amat keras dalam membela agama tradisional bangsa Arab yang menyembah berhala serta menjaga adat-istiadat mereka. Bahkan putrinya dikubur hidup-hidup demi menjaga kehormatan Umar.
Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu’aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya. Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur’an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga. Sebagai seorang petinggi militer dan ahli siasat yang baik, Umar sering mengikuti berbagai peperangan yang dihadapi umat Islam bersama Rasullullah Saw. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria.
Setelah wafatnya Rasullullah Saw., beliau merupakan salah satu shabat yang sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Ia bahkan pernah mencegah dimakamkannya Rasullullah karena yakin bahwa nabi tidaklah wafat, melainkan hanya sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali sewaktu-waktu. Namun setelah dinasehati oleh Abu Bakar, Umar kemudian sadar dan ikut memakamkan Rasullullah. Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Kemudian setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, atas wasiat Abu Bakar Umar ditunjuk menggantikannya dan disetujui oleh seluruh perwakilan muslim saat itu. Selama masa jabatannya, khalifah Umar amat disegani dan ditakuti negara-negara lain. Kekuatan Islam maju pesat, mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di jaman itu, ia tetap hidup sebagaimana saat para pemeluk Islam masih miskin dan dianiaya. Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun keempat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Umar syahid setelah ditikam oleh Abu Lukluk, seorang budak asal Persia yang dendam atas kekalahan Persia terhadap Islam pada suatu subuh saat Umar sedang mengerjakan shalat. Umar meninggal pada 25 Dzulhijjah 23 H dan selanjutnya digantikan oleh Utsman bin Affa
TELADAN YPERJALANAN UMAR BIN KHATTAB
Pada suatu ketika, Khalifah Umar bin Khattab sedang berjalan keluar malam-malam sendirian. Beliau memang punya sebuah kebiasaan kluyuran malam-malam, untuk melihat sendiri apakah rakyatnya sudah bisa tidur dengan nyenyak, atau mungkin masih ada yang kelaparan sehingga belum bisa tidur. Umar berjalan seorang diri, tanpa teman, tanpa pengawal, apalagi ajudan, dan tidak dengan ramai-ramai dan hiruk-pikuk layaknya seorang pemimpin yang mau bersafari ke daerah.
Ketika sedang asyik berjalan, sambil mengamati rumah-rumah penduduk, tiba-tiba Umar mendengar ada suara anak kecil menangis, dan suara ibunya yang berusaha membujuk supaya sang anak menghentikan tangisnya. Kata sang ibu, "Sebentar ya nak, sebentar lagi matang kok. Tidurlah engkau sampai nanti kubangunkan."
Sang anak rupanya sudah tidak tahan lagi dengan lapar yang dirasakannya. Ia terus saja menangis, bahkan semakin keras. Sang ibu sudah sangat panik, bingung tidak tahu lagi harus berbuat apa, sementara dia sendiri tidak punya uang sepeserpun, untuk dibelikan bahan makanan, demi mengenyangkan buah hati tercintanya.
Saat itulah terdengar pintu diketuk, dan tampak sosok Umar bin Khattab, yang ternyata tidak dikenali oleh ibu itu. Ini juga karena Umar selalu menyamar, setiap kali akan berpatroli seperti yang sekarang sedang dilakukannya.
"Maaf ibu, saya tadi mendengar suara anak menangis. Anak ibukah itu?" tanya Umar. Sang ibu menjawab, "Iya benar Pak. Anak saya ini lapar, tapi saya tidak punya uang untuk membeli bahan makanan."
Khalifah Umar terkejut, "Terus yang saya dengar tadi ibu mengatakan, sebentar lagi matang, itu apa bu?"
Dengan tersipu malu, sang ibu menjawab, "Itu hanya sebuah batu. Saya tahu batu tidak akan pernah bisa dimakan, tapi hanya ini cara yang bisa saya gunakan, supaya saya bisa menenangkan anak saya. Andai saja khalifah Umar ada disini, saya akan mencakar-cakar wajahnya, karena dia sudah tega menyengsarakan rakyatnya!"
Mendengar itu, Umar bin Khattab langsung mohon diri, dan langsung pulang menuju kediamannya. Umar langsung menuju ke gudang tempat penyimpanan makanan, dan langsung diambilnya sebuah karung berisi bahan makanan yang paling besar. Karung itu kemudian diangkatnya, dan dipikulnya sendiri, untuk dibawa keluar kembali menuju rumah sang ibu yang malang itu. Beberapa ajudan Umar, begitu mengetahui bosnya mikul beras sendirian, langsung menawarkan bantuan untuk mengangkatnya. Tapi dengan tegas Umar justru berkata, "Kalau kalian mau memikulkan karung ini, apakah berarti kalian mau memikul juga dosa-dosaku? Biar aku yang membawanya, karena aku merasa berdosa, telah menelantarkan rakyatku, sampai-sampai dia harus membohongi anaknya yang menangis kelaparan, karena tidak punya uang untuk membeli makanan."
Para ajudan itu tertegun, tidak bisa berkata apa-apa, tapi tidak sedikit diantara mereka yang juga menitikkan air mata, melihat kearifan pemimpin mereka itu. Umar bin Khattab kemudian memikul karung bahan makanan itu sendirian, ketempat sang ibu yang tadi merebus batu itu. Jarak antara kediamannya dengan rumah sang ibu cukup jauh. Tapi karena tekadnya sudah bulat, tidak ingin menyengsarakan rakyatnya, bahkan barang seorangpun, Umar memikul karung itu, dan berjalan tanpa kenal lelah.
Sesampainya dirumah ibu yang malang itu, Umar kembali mengetuk pintu. Ibu itu sangat terkejut, melihat Umar kembali datang, kali ini membawa karung besar berisi bahan makanan. Sambil terisak ibu itu berkata, "Alhamdulillah tuan, anda sudah sangat berbaik hati kepada saya. Semoga Allah membalas kebaikan tuan dengan balasan yang berlipat ganda. Tapi, siapakah tuan ini sebenarnya?"
Ketika Umar menyebut namanya, ibu ini tersentak dan langsung bersujud dihadapan sang Khalifah. Dia minta maaf karena pada pertemuan sebelumnya, sempat mencela sang Khalifah. Tapi Umar bin Khattab justru memegang tangan sang ibu, dan membantunya untuk berdiri. Umar kemudian berkata, "Justru seharusnya sayalah yang bersujud pada ibu, karena ibu sudah menyadarkan saya, bahwa tidak ada gunanya kekuasaan yang saya miliki, kalau rakyat saya ternyata masih ada yang sengsara seperti ini. Sungguh Allah sudah memberi hidayah kepada saya melalui ibu. Terimakasih..."